Ada yang keberatan ketika majalah Tempo memajang gambar mirip Presiden Jokowi yang pada siluetnya digambarkan memiliki hidung panjang ala boneka Pinokio. Boneka itu bisa hidup layaknya manusia. Hidungnya akan bertambah panjang setiap kali ia berbohong. Itu dongeng. Bukan kisah nyata.
Nah, di sampul majalah itu juga ada teks berbunyi: Janji Tinggal Janji. Maka mudahlah orang memberi tafsir kepada siapa sindiran itu ditujukan. Dewan Pers dengan sangat jelas menyatakan majalah itu bermaksud mengkritik, mengingatkan.
Di dunia nyata, praktiknya orang memang tak mudah menerima kritik. Maka mudah dimengerti jika penguasa yang ingin memberikan kesan dirinya terbuka terhadap kritik, umumnya selalu menyatakan, “Silakan berikan kritik, asal konstruktif dan memberikan jalan keluarnya.”
Sebuah pernyataan penuh basa-basi. Di dalamnya tersirat kecurigaan bahwa pengkritik selalu destruktif. Dan, ada keinginan menghadang kritik dengan persyaratan harus memberi jalan keluar. Memangnya proposal!
Bayangkan kalau ada persyaratan hanya penonton sepakbola yang yang bisa menggiring bola dengan lincah sekaligus mencetak gol manis yang boleh memaki pemain tak becus. Atau mensyaratkan kritikus film haruslah orang yang sudah pernah meraih Piala Citra.
Merasa Paling Benar
Tapi memang begitulah bawaan lahir penguasa. Merasa diri paling benar. Maka kita dipaksa terkagum-kagum ketika pada masa lalu Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej memperingatkan dengan keras Perdana Menteri Thaksin Sinawatra yang gampang sewot terhadap kritik. Sang raja mencerca Thaksin bahwa sebagai pejabat publik ia harus siap menerima kritik.
Tentang dirinya, Raja bahkan punya ungkapan sangat indah sekaligus sarat makna. “Ungkapan bahwa raja tidak mungkin berbuat salah, itu adalah penghinaan. Itu sama saja dengan mengatakan raja itu bukan manusia. Saya bisa berbuat salah dan saya tak takut dikritik langsung!”
Presiden Joko Widodo, Yusuf Kalla yang Wakil Presiden, bahkan Donald Trump yang bukan raja, sudah selayaknya menyimak pitutur Raja Bhumibol. Jangan merasa diri paling benar. Jangan juga merasa diri sebagai raja yang tidak mungkin berbuat salah! Itu sikap salah!
Baca: 7 Inspirasi Terbaik dari BJ. Habibie
Salah satu makhluk yang punya pembawaan melakukan kritik adalah wartawan. Profesi dan peran yang diembannya memang menempatkan dirinya untuk selalu bersikap kritis. Informasi yang disampaikan wartawan tentu saja tak bisa selalu terdengar manis dan menyejukkan hati. Seringkali malah menyakitkan dan memerahkan telinga.
Keputusan Benar
Adalah menjadi kewajiban para penguasa untuk mampu mengambil keputusan berdasarkan informasi yang memadai serta membuat penilaian yang independen. Hal ini hanya bisa dicapai bila penguasa memiliki informasi yang faktual dan tepercaya. Dan itu hanya bisa didapat dari pers yang memiliki kebebasan memperoleh dan menyebarkan informasi.
Takdir ini sebaiknya dipahami benar oleh penguasa atau pemerintah plus semua aparatnya. Abdi masyarakat ini, khususnya para juru bicara atau humas, harusnya bisa menempatkan diri tak hanya sebagai bagian dari pemerintah, tapi juga sebagai bagian dari masyarakat merdeka. Menghubungkan pemerintah dan warganya.
Artinya, aparat humas ini juga berfungsi layaknya wartawan yang bekerja di dalam institusi pemerintah: mengumpulkan informasi sebanyak mungkin untuk disebarkan kepada masyarakat. Menjelaskan manfaat program, menyampaikan rencana pemerintah, serta menjelaskan bagaimana pengaruhnya pada masyarakat.
Dalam kaitan tugas itu, para juru bicara dan humas, tentu saja bukanlah tukang sulap. Mereka tak akan bisa mengubah citra program yang gagal menjadi seolah-olah berjalan lancar. Atau menciptakan citra pejabat jujur jika memang tak jujur. Meyakinkan keterbukaan jika pemerintah memang tak terbuka. Menjelaskan tujuan jika memang tujuan pemerintah tak jelas. Atau sekadar menyanjung kemampuan manajemen jika nyatanya memang tak demikian.
Ketika berbicara di depan beberapa Forum Bakohumas, saya mengingatkan mereka untuk menekan syahwat dan keinginan mengendalikan wartawan dengan berharap wartawan yang telah dibinanya tak menulis hal negatif. Percayalah, wartawan profesional tak akan membiarkan hubungan baik itu memengaruhi sikap profesionalnya.
Baca: Kalah Pilpres Perusahaan Sandiaga untung 3 Triliun
Bila merasa berita pers ada kesalahan, toh jubir, humas, atau aparat Kominfo bisa segera bertindak. Berbicara kepada wartawan atau editornya, tampilkan fakta sebenarnya, minta kesalahan ditarik atau dikoreksi. Tapi jangan mengancam. Bahkan ancaman dalam bentuk paling halus sekalipun, antara lain dengan menuntut wartawan memberikan jalan keluar dari masalah. Mencari jalan keluar itu sih tugas penguasa dan untuk itu mereka dibayar.
Memang penyakit bawaan penguasa untuk cepat merasa dirinya bukan manusia biasa dan karena itu tak bisa berbuat salah. Padahal bencana alam semacam gempa bumi, banjir, kebakaran hutan, mewabahnya penyakit, seringkali datang di luar kemampuan kendali manusia.
Penguasa yang merasa bukan lagi manusia, suka kelabakan dan blingsatan ketika menerima berita buruk dari media. Cara paling lazim digunakan penguasa adalah dengan menuduh media membesar-besarkan faktanya. Sebaliknya, dalam tempo bersamaan sang penguasa mengecilkan arti bencana, meski itu menyangkut nyawa manusia yang menjadi tanggung jawabnya.

Penguasa yang Baik
Penguasa yang baik, ketika menghadapi berita buruk media, tidak akan berusaha berbohong. Percuma saja menutup-tutupi fakta seterang matahari. Apalagi berusaha menutup dengan jari-jarinya. Sia-sia!
Mengapa tidak mengakui saja adanya masalah dan menjelaskan usaha-usaha perbaikan apa saja yang sudah dan sedang dilakukan. Percayalah, penanganan krisis yang tepat justru akan meningkatkan reputasi pemerintah.
Bersikaplah jujur dengan memfasilitasi berita sebisa mungkin. Sebab media akan tetap menulis walau tanpa bantuan aparat pemerintah. Jadi, memang lebih bijak bila mengambil sikap membantu pers meski itu berita negatif. Ini penting supaya posisi aparat pemerintah terwakili dengan benar.
Jangan menghindari pertanyaan pers. Jangan sampai pers menulis: “Anda tidak bersedia menjawab pertanyaan” Sikap begitu bisa menimbulkan kecurigaan dan gosip. Bila Anda tak memberi informasi, wartawan akan menuliskan desas-desus
Daripada memelihara hasrat untuk membina atau mengendalikan wartawan, lebih baik jagalah hubungan saling percaya dengan media setiap saat. Dengan begitu, media tidak akan menaruh curiga dan akan lebih kooperatif saat terjadi krisis. Bicaralah pada media agar masyarakat tahu Anda sudah mengambil tindakan.
Yakinkan bahwa pemerintah sudah mengambil langkah mengatasi krisis. Tentu saja jika itu memang dilakukan, bukan cuma omong kosong. Sikap terbuka dan tanggap akan jadi investasi jangka panjang.
Akhirul kalam, penguasa yang merasa dirinya bukan manusia biasa dan merasa selalu bisa menghadapi masalah sehingga tak butuh kritik, ingatlah kembali pada pitutur Raja Thailand Bhumibol Adulyadej. ***

Zainal Arifin Emka
Pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Surabaya Post
Penasehat PWI Jatim
Anggota Tim Ahli Diskominfo Jatim
Pengajar di Stikosa-AWS.