Berharap Bijak Memberitakan Terorisme

Posted by

Langit Indonesia seperti tak pernah sepi dari berita aksi terorisme. Aksi skala kecil sekelas bom molotov sampai yang segede bom.

Menariknya, ketika aparat keamanan masih mencari-cari siapa pelaku dan otak peledakan, biasanya ada saja orang yang tampil mengarahkan tudingan ke arah kelompok garis keras yang disebut-sebut barlabel Islam.

Begitu yang terjadi di masa lalu, dan masih  begitu sekarang. Kita masih ingat, di masa lalu, hanya beberapa menit setelah bom Bali menyalak, sebuah televisi swasta mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer,. “Jemaah Islamiyah berada di balik bom Bali,” katanya.

          Menyusul aksi penusukan terhadap Menkopolhukam Wiranto, seorang pengamat berbicara di televisi menyebut kelompok teroris kini terbelah menjadi dua. Ada yang memiliki tujuan membentuk negara Islam, ada yang memiliki tujuan lebih sederhana, terfokus pada upaya membalas dendam kematian kaum Muslim di seluruh dunia.

          Yang agak menyedihkan adalah puluhan aksi teror di Indonesia ternyata tidak membuat pers Indonesia menjadi mahir dan bijak dalam meliput terorisme.

Sekadar mengingatkan, perang melawan terorisme dicanangkan oleh Presiden AS, George W Bush Jr. Diawali peristiwa 11 September 2001 ketika menara kembar word trade center hancur ditabrak dua pesawat terbang sipil. Peristiwa itu oleh Bush dijadikan alasan mengobarkan perang. Pasukan AS lalu menyerbu Taliban di Afghanistan. Kemudian Pindah ke Irak untuk menjatuhkan Presiden Saddam Hussein.

Perang AS berdampak ke Indonesia sejak tahun 2002 ketika aksi teror pertama berupa ledakan bom di sejumlah gereja. Semua orang bertanya-tanya siapa pelaku sebenarnya. Negara Barat spontan merespon dengan menggelontorkan bantuan besar mendukung perang melawan terorisme.

Titah George Bush Jr pun bergema. Cara berpikir jurnalis seakan dibatasi wacana “perang melawan terorisme”. Para jurnalis seakan dipaksa mengambil posisi: anda bersama kami atau melawan kami. With or agains us.

Padahal kode etik jurnalistik menuntut wartawan berimbang, adil, dan imparsial. Dalam kondisi demikian, korban pertama jurnalisme adalah standar-standar verifikasi.

Harga Diri

Sebagai bangsa yang maunya dan seharusnya bermartabat, serangkaian aksi teror, termasuk aksi penangkapan terhadap puluhan terduga teroris, tentu saja mengoyak-koyak harga diri bangsa kita.

Kita sedih dan seharusnya merasa makin terhina. Mengapa?  Ketika aparat keamanan kita bersikap berhati-hati dalam berbicara, dan berbagai tokoh menyerukan publik untuk menahan diri, ada saja orang yang dengan cepat dan sangat rajin melontarkan analisisnya yang mengarahkan telunjuknya pada kelompok yang membawa-bawa nama Islam.

Dari pengamat asing kita tentu tak bisa berharap ia berbicara hati-hati agar ucapannya tak menyinggung dan menyakiti serta memojokkan perasaan umat Islam yang celakanya memang diatasnamakan oleh pelaku peledakan bom. Mereka tak peduli bahwa umat Islam di Indonesia amat gusar dan merasa sangat dirugikan oleh perilaku biadab para teroris (siapapun mereka dan apapun motivasinya).

Perasaan itu bisa kita tangkap antara lain dari pernyataan mantan Ketua PP Muhammadiyah, Dien Syamsudin yang mengutuk aksi kekerasan. “Itu bukan perbuatan orang beragama karena agama melarang tindakan tak berperikemanusiaan semacam itu,” katanya seraya menyesalkan pernyataan orang-orang yang secara grusa-grusu mengarahkan tudingan ke arah Islam.

Umat Islam tentu sepakat untuk mengatakan, kalau pelakunya orang Islam, lebih baik tinggalkan Islam dan menjadi penjahat ulung saja. Karena kalau tetap mengaku Islam, hanya akan merusak citra Islam. Kita berharap aparat keamanan segera mengungkap siapa sebenarnya di balik itu semua.

Desakan senada dikemukakan tokoh Nahdlatul Ulama, Salahudin Wahid. “Tangkap pelaku dan otak peledakan sebelum menimbulkan prasangka di masyarakat!” katanya.

Memilih-milih

Media massa tentu saja hanya berperan menyiarkan fakta. Dan, pernyataan orang yang lazimnya disebut pengamat terorisme adalah fakta opini yang jelas nara sumbernya. Tapi kita membohongi diri sendiri kalau mengatakan tak ada niatan menggiring dan membangun opini ketika memilih-milih pernyataan dan nara sumber. Menutup-tutupi itu, sama artinya dengan menempatkan media massa tak lebih dari keranjang sampah tempat orang membuang aneka tuduhan dan menyebar prasangka.

Tentu saja saya tak punya dasar menuduh media massa sedang menjalankan agenda tersembunyinya. Tapi, biarkan saya bertanya, apakah motivasi wartawan ketika mempertanyakan aktivitas ibadah sang terduga teroris? Lalu mempublikaskan: Terduga Teroris Dikenal Rajin Shalat.

Oke, mungkin sang wartawan hanya sedang menjalankan perannya untuk mengumpulkan bahan. Tapi bukankah apapun pernyataan dari nara sumber sudah “menghasut” khalayak untuk berpikir mengait-kaitkan urusan ibadah itu dengan agama terduga?

Media massa yang diimpikan sebagai ruang publik yang terbuka, sudah seharusnya bersikap adil dan berimbang.  Memberi tempat yang sama kepada berbagai pendapat yang berkembang dan biarkan masyarakat membangun opini dan menentukan sikapnya sendiri.

Dalam semangat ini, media mestinya juga  memberi tempat yang sama pada imbauan ketua PBNU agar tak mengaitkan aksi-aksi kekerasan dengan Islam. Juga tak menyederhanakan persoalan seperti dikemukakan Dien Syamsudin.

Karena itulah sudah selayaknya juga pers Indonesia tak terjebak untuk menyederhanakan persoalan. Dengan membatasi diri hanya menyuarakan informasi yang “dianggap sesuai”, sama artinya dengan menisbikan kemungkinan adanya pelaku dan motiv lain.

Seingat saya kita masih bangsa yang merdeka dan pers kita juga sudah merdeka. ***

Zainal Arifin Emka
Pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Surabaya Post
Penasehat PWI Jatim
Anggota Tim Ahli Diskominfo Jatim
Pengajar di Stikosa-AWS.

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *