Media sosial suka disebut sebagai media alternatif. Pengobatan non-medis juga sering disebut pengobatan alternatif. Lazimnya dipilih ketika pengobatan medis sudah mentok. Tak kunjung sembuh, larilah ke pengobatan alternatif.
Jangan dipungkiri, banyak orang kini lari ke media alternatif karena merasa informasi yang diterimanya dari media arus utama tak kunjung memuaskan dahaga informasinya. Bahkan ada yang curiga media sedang memanipulasi informasi yang disajikannya. Celakanya lagi, jika media sosial juga menyajikan kualitas informasi tipu-tipu dan abal-abal. Maka sempurnalah sudah lorong gelap informasi itu.
Daftar Isi
Contoh Terpercaya
Sejarah Islam mencatat, ketika Nabi Muhammad SAW menyatakan kepada umatnya bahwa ia telah melakukan perjalanan Isra’ dan Mi’raj, tidak semua pengikutnya percaya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang kemudian berbalik murtad.
Berbeda dengan sikap Abu Bakar. Ketika seseorang menyampaikan kabar sensasional itu kepadanya, Abu Bakar dengan tegas menyatakan, “Kalau Muhammad yang mengatakan, lebih dari itupun aku pecaya!”
Yang hendak saya katakan dengan memetik sebuah episode dari perjalanan kerasulan Muhammad itu adalah, betapa pentingnya kejujuran dalam pergaulan hidup manusia, dalam hubungan interaktif antarmanusia, dalam komunikasi antarmanusia.
Pernyataan Abu Bakar yang percaya tanpa reserve atas semua pernyataan Muhammad –bahkan untuk sesuatu yang muskil pada saat itu- tentu saja tidak datang dengan tiba-tiba. Kepercayaan itu merupakan buah yang tumbuh dari benih-benih kejujuran yang ditebarkan Muhammad. Laki-laki itu, sebelum diangkat menjadi nabi, sudah mendapat gelar dari kaumnya: Al Amin. Tepercaya!
Masih Dianggap Jujur
Dan, wartawan sepatutnyalah mesti berterima kasih bahwa di tengah-tengah begitu langkanya kejujuran di zaman edan ini, sesungguhnya masih banyak orang yang percaya bahwa wartawan adalah makhluk yang jujur dan karena itu tepercaya. Karena itulah media pemberitaan masih diikuti orang, dibaca, didengar, dan ditonton dengan sikap percaya.
Tentu saja kadar kepercayaan orang kepada media bisa berbeda. Bergantung pada kejujuran yang ditebarkannya. “Ya, kalau yang memberitakan koran A, anggap saja sekadar hiburan, jangan terlalu dipercaya!” kata seseorang. Dan kata yang lain, “Kalau koran B, yang hebat kan cuma judulnya, isinya biasanya ndak ada apa-apanya!”
Maka, alangkah senangnya kalau Anda berada di balik media yang ketika orang membaca berita yang sangat susah diterima akal sekalipun, reaksinya seperti Abu Bakar, “Kalau yang memberitakan koran R, lebih aneh dan lebih dahsyat dari itupun aku percaya!”
baca juga: Wartawan Terbaik, Entah Di mana
Media = Kepercayaan
Memang, bisnis media informasi bertumpu sepenuhnya pada kepercayaan. Kepercayaan yang tumbuh dari kejujuran para wartawannya.
Akan terasa lucu kalau setelah membaca suatu berita, seseorang masih harus datang sendiri ke lokasi kejadian untuk mengecek kebenarannya dan baru mempercayainya. Atau masih merasa perlu membaca berita dari media lain untuk mencocokkannya. Atau sekadar menghubungi kenalannya untuk mengkonfirmasi kebenarannya.
Mengapa wartawan harus jujur?
Banyak orang percaya wartawan ikut berperan dalam membentuk pendapat seseorang bahkan pendapat publik. Atas dasar itu saja, maka segera muncul tuntutan wartawan mestilah menjalankan profesinya dengan penuh kejujuran.
Tentu saja bukan cuma wartawan yang mesti jujur. Profesi lain seperti dokter, guru, hakim, atau sekadar pekerjaan sebagai penjual jajanan pun mesti berlaku jujur. Betapa berbahayanya menyerahkan anak kita kepada guru yang tidak jujur.
Risiko terkecil, wartawan bisa merusak nama baik orang. Risiko yang agak besar, karena berita bohong yang disebarkannya, masyarakat menelan informasi menyesatkan. Risiko yang lebih besar, informasi yang menghasut, bisa mengobarkan kepanikan dan memancing tindak kekerasan yang bahkan bisa berujung pada hilangnya nyawa orang.
Bayangkan seorang wartawan yang tidak jujur, dengan enteng memberitakan bahwa suatu kelompok sedang bersiap-siap menuntut balas atas kematian rekannya. Ia melakukan liputan bohong itu semata karena ingin punya berita besar.
Berita itupun segera direspon dengan persiapan menyongsong serangan. Untung saja mereka tidak mengambil keputusan melakukan serangan jemput bola ke daerah lawan.
Alhasil, kejujuran merupakan piranti mutlak seorang wartawan. Itu melengkapi tuntutan profesi lainnya seperti keterampilan, rasa tanggung jawab, tidak berpihak, adil, dan berimbang.
Wartawan tak boleh tergelincir memelintir informasi yang berarti menyebarkan kebohongan. Wartawan juga mesti dengan cerdas dan penuh kearifan menimbang-nimbang dampak yang mungkin timbul dari laporannya.
Germo pun Wajib Jujur
Dari seorang teman saya memperoleh bahan renungan menarik tentang betapa pentingnya kejujuran. Suatu saat ia memesan teman kencan, artis sinetron yang lagi ngetop. Ketika diantar, ternyata sang germo hanya membawa perempuan yang hanya mirip sang artis. (Saya tidak tanya detail apanya saja yang mirip). Dalihnya, sang artis beneran sedang sibuk syuting.
Yang hendak saya ceritakan di sini bukan apa yang kemudian dilakukan temannya teman saya tadi. Tapi komentarnya. Biar saya kutip sesuai dengan aslinya: “Sejak saat itu saya kapok berhubungan dengan germo itu. Saya tidak lagi mempercayainya!!!”
Nilai hikmah yang saya pungut dari kisah berlumpur itu adalah: ternyata bisnis kotor pun harus dijalankan dengan bersih, dengan kejujuran. Dengan kejujuran itu akan tumbuh kepercayaan.
Dan bisnis informasi –sependek yang saya ketahui– adalah bisnis bersih. Tentunya lebih-lebih mesti dijalankan dengan bersih. Dengan penuh kejujuran untuk membangun kepercayaan.
Saya tentu saja boleh separo percaya setengah curiga, kisah itu sebenarnya bukan tentang temannya teman saya, tapi kisah tentang pengalamannya sendiri. Dan Anda, juga boleh tidak percaya, itu bukan kisah tentang teman saya, tapi pengalaman saya sendiri. Akh, betapa mahalnya kepercayaan!***
Zainal Arifin Emka
Pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Surabaya Post
Penasihat PWI Jatim
Anggota Tim Ahli Diskominfo Jatim
Pengajar di Stikosa-AWS.