Saya beruntung pernah mengabdi di koran sore Surabaya Post. Ketika itu menjadi salah satu koran terbaik di Jawa Timur. Saya memulai karier sebagai penyumbang alias kontributor, wartawan, redaktur, dan terakhir sebagai Pelaksana Harian/Wakil Pemimpin Redaksi.
Pemilik koran harian ini, A Aziz adalah wartawan tulen, ia termasuk wartawan terbaik. Bukan pengusaha, juga bukan politisi. Dan, ini yang penting, tidak memanfaatkan korannya untuk menopang bisnis di luar bisnis medianya. Terlebih lagi tidak untuk kepentingan berpolitik. Posisinya sebagai pemilik sekaligus Pemimpin Redaksi, tidak menggodanya untuk tidak setia pada profesinya.
Kondisi ini tentu nyaman (bahasa kerennya: kondusif) bagi wartawan. Para awak media Surabaya Post bisa bekerja sesuai rambu-rambu dan panduan jurnalistik yang diyakininya. Dan, yang lebih penting lagi, sesuai dengan tuntutan dan tuntunan hati nuraninya. Wartawan leluasa menulis apa adanya. Bukan ada apanya.
Sebegitu pentingkah suasana nyaman atau kondusif seperti itu bagi wartawan? Secuil kisah terbaik di Maret 2005 silam ini semoga bisa menjelaskan itu.
Sosok Wartawan Terbaik
Laurie Garrett, wartawan sains dan kesehatan peraih Pulitzer, mundur dari tabloid Newsday, tempat ia bekerja sejak tahun 1988. Ketika berbicara sebagai tamu di sebuah stasiun TV, ia menjelaskan mengapa ia mundur dan kemudian berinteraksi dengan pemirsa memersoalkan kiprah industri media di Amerika Serikat waktu itu.
Ada apa dengan Garrett? Penulis buku best seller berjudul Betrayal of Trust: The Collapse of Global Public Health (2000) itu menekuni dunia wartawan sudah sejak pertengahan 1970-an.
Mundurnya Garrett juga layak disebut sebagai kerugian besar untuk dunia media karena dia salah satu wartawan sains Amerika paling terkemuka. Wartawan ini menurut saya adalah sosok wartawan terbaik. pernah meraih sekaligus tiga penghargaan utama jurnalistik: Pulitzer, Peabody, dan Polk.
Bagi wartawan sekaliber dia, tentu diperlukan sebuah atau beberapa alasan prinsipiil untuk mundur. Orang kemudian tahu, Garrett ternyata tak kuasa menahan kecewanya terhadap manajemen baru di Newsday. Ia menunjuk, sejak keluarga Chandler, menempatkan Mark Willes dari General Foods menjadi pemimpin umum kelompok bisnis koran itu, jurnalisme di Newsday jadi terpuruk. Chandler adalah pemilik konglomerasi kelompok Times Mirror (penerbit Newsday, Los Angeles Times, Baltimore Sun, Chicago Tribune, dan lain-lan).
Pemimpin apalagi sekaligus pemilik media, telah menjadi cermin bagi kecenderungan umum di dunia media: mereka utamanya melayani para pemegang saham, lalu pengusaha, kemudian penguasa, dan baru di urutan bawah mengurus kepentingan khalayak. Profit: inilah yang kini paling utama dan di atas segalanya. Padahal ini bukan yang terbaik.
Kini Tinggal Profit
Profit: inilah yang kini paling utama dan di atas segalanya. Kepentingan khalayak ada di urutan bawah. Itu kecenderungan umum di dunia media, juga di Indonesia. Di negeri ini, bahkan siapapun bisa menerbitkan media. Cetak atau online. Dan kalau mau, boleh menempatkan dirinya menjadi pemimpin redaksi. Bukan sekadar pemimpin umum. Tak peduli andai ia tak paham makna jurnalisme. Sebab bagi pemilik modal, yang penting ia paham kapan harus mengembalikan modal dan kemudian mendatangkan profit dalam jumlah besar.
Dari tangan dan otak pemimpin redaksi semacam itu, tak heran kalau kemudian bermunculan gagasan aneh-aneh yang semuanya bermuara ke masuknya profit. Maka lahirlah berita-berita padat sensasi, judul-judul yang menipu, seolah terbaik, dan aneka informasi yang bukan saja menjebak, tapi juga sesat dan menyesatkan.
Saya pernah mengenal seorang pemimpin media (semoga Tuhan mengampuni dosanya) yang lebih banyak mendorong wartawannya menulis apa yang disebutnya “berita positif” untuk membuka pintu bagi masuknya iklan dan pariwara. Tak heran kalau kemudian dari tangan dan otaknya terlahir wartawan-wartawan yang tak lagi bisa membedakan antara berita dan pariwara.
Puncak kejeniusan berpikir bisnisnya adalah ketika ia meluncurkan produk pariwara untuk informasi apapun yang ingin dikatakan pengacara yang sedang menangani suatu perkara. Celakanya, pariwara itu dipasang berbaur (benar-benar berbaur) dengan berita. Yang membedakan hanyalah inisial di ujung naskah: (prw). Maksudnya: pariwara. Ia lupa di medianya sudah lebih dulu ada wartawan berinisial ‘prw’. Kebijakan itu dihapus ketika sang pemilik inisial protes keras. Tapi proyeknya jalan terus, inisialnya saja yang ganti: (egp). Mungkin artinya: emangnya gue pikirin.
Menjadi Asing, Menjadi Yang Terbaik
Para pengelola media sekelas itu, kadang memang menyebut-nyebut kepentingan khalayak di urutan pertama. Tapi hanya ketika diperlukan sebagai legitimasi sang pemimpin redaksi untuk meluncurkan informasi berselera rendah. “Ini memenuhi permintaan khalayak,” adalah klaim tipu-tipu yang kerap diucapkan para redaktur.
Kecenderungan berikutnya lebih menyedihkan. Muncullah wartawan muda yang memroduksi berita tipuan hasil rekayasa cerita karangan dan plagiat. Di negara maju sekelas Amerika pun terjadi. Wartawan membuat dan menyajikan liputan senjata pemusnah massal di Irak. Faktanya kemudian ternyata cuma isapan jempol untuk melayani nafsu penguasa.
Saya mengaku merindukan masa ketika ruang rapat redaksi alias newsroom masih dipenuhi wartawan-wartawan tua dari kelas pekerja yang haus akan kebenaran dan semangat mengontrol pejabat yang korup dan pembohong serta kesewenang-wenangan.
Kini ruang rapat redaksi sudah sepenuhnya digantikan oleh wartawan berkerah putih yang siap membawa dan menjejalkan pesan-pesan pengusaha dan penguasa. Wartawan terbaik sudah langka. Romantika di dunia kewartawanan seperti dalam film His Girl Friday kini sudah tiada. Kejujuran dan ketegaran kini telah tergantikan oleh berita-berita sensasi yang laku dijual.
“Ketakutan bukan stimulus yang tepat untuk jurnalisme yang baik. Peluang bagi jurnalisme kualitas masih tetap ada asalkan Anda mau mengorek-ngorek permukaan yang baru dan membuka pintu-pintu yang tertutup,” kata Garrett.
Di dunia yang serba pragmatis dan makin instant ini, langkah dan pemikiran Laurie Garrett mungkin terasa asing. Tapi seperti kata orang bijak, kebenaran itu awal mulanya asing, dan pada masanya akan kembali menjadi asing.
Dan, berbahagialah orang yang asing. Mereka adalah yang terbaik. ***
Zainal Arifin Emka
Pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Surabaya Post
Penasihat PWI Jatim
Anggota Tim Ahli Diskominfo Jatim
Pengajar di Stikosa-AWS.