Yang Ramai dan Sepi Saat Corona

Posted by

Saya ikut rapat di sebuah masjid untuk menyikapi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang disiapkan oleh pemerintah. Kalau yang biasa rapat masjid, pasti tahu keadaanya, jangan dibayangkan seperti perusahaan.

Satu ustadz kemudian menyampaikan, kalau kita harus tetap menjaga ketaqwaan, harus menambah keimanan di saat seperti ini. Jangan sampai saat seperti ini mall ramai tapi masjid jadi sepi.

Saya maklum dengan pernyataan tersebut. Namanya ustadz tentu lebih akrab dengan masjid daripada mall. Itu juga masih diskusi pendapat masing-masing sebelum takmir memutuskan.

Giliran saya yang diminta bicara. Saya bercerita saja, tidak bisa banyak dalil-dalil, bukan tipe yang bisa nyerocos dalil. Di masjid ini seperti ini, di masjid itu seperti itu, saya cerita banyak masjid besar. Ada yang heran, ada yang tertawa.

Tapi kemudian saya menyampaikan, “Beberapa hari lalu saya jalan-jalan ke mall, tepatnya Royal”. Ini adalah mall paling ramai di Surabaya dalam sudut pandang saya.

Saya katakan, “Mall sepi. Jangan dikira ramai. Toko-toko banyak yang tutup, mereka menghitung, daripada ada penjaga tapi sepi, mending tutup sekalian tidak bayar penjaga.”

Karena Corona Menyepi

Saya menemukan fakta semua khawatir, menjaga diri dari corona. Siapa pun itu. Mall tetap buka, itu usaha. Mereka masih mempersilakan jika ada yang ingin datang. Pakai disemprot, disuruh cuci tangan, sampai ditembak pemeriksa suhu tubuh. Tapi kenyataannya sepi.

Food court yang biasanya nyari tempat duduk butuh waktu, ini bisa pilih di mana saja dan kapan saja. Tinggal Anda berani atau tidak. Itu saja.

Sedangkan masjid juga sifatnya sama. Tetap membuka bagi yang berkeinginan untuk berjama’ah. Tidak mungkin pintunya ditutup rapat. Seperti di Al Akbar. Shalat berjarak. Cuci tangan, ditembak. Sifatnya demikian. Prosedur tetapnya sangatlah ketat.

Tapi lain jika sudah ada yang terpapar. Ada teman usia tujuh puluh tahun. Sering nelpon karena beberapa hal. Ketika saya telepon untuk mengajak bertemu, dia menjawab, “Saya tidak berani keluar. Di depan masjid saya sudah ada pasien dalam pengawasan…”

Begitulah keadaan, berusaha menyepi, apalagi kalau sudah terkena. Kekhawatiran semakin dekat. Tidak ada peringatan yang lebih manjur kecuali ketika wilayahnya sudah terpapar. Di sinilah kesepian itu semakin membesar.

Masih Ramai Kok

Tapi kalau bertanya apakah semuanya menyepi? Jawabannya masih banyak yang ramai. Lihat pasar tradisional. Meski tidak seramai dulu. Tapi tetap ramai. Banyak yang pakai masker, tapi ada yang tidak pakai. Jawabannya sederhana, “Nafasnya susah, sumpek!” tidak terlintas corona. Masker itu jadi seperti kalung.

Lain lagi kalau di jalan. Sama seperti saya, “Di rumah tidak dapat duit. Di jalan walaupun duitnya sedikit, tapi ada yang dimakan. Kadang mengharap ada yang lewat bawa makanan. Uang sedikit bisa utuh untuk keluarga.” Bukan tidak ingin menyepi, tapi terdesak, tidak ada yang bisa dimakan. Cicilan ya tetap jalan.

Ah, ini zaman kok sulit sekali. Harus meras kepala yang kecil ini.  

masjid saat corona
pixabay.com

Ada Yang Paling Ramai

Tapi ada juga lho yang paling ramai pas corona seperti ini. Di HP. Saya punya grup puluhan. Setiap hari tidak berhenti ada informasi. Video, tulisan, rata-rata tentang corona. Lebih ramai dari waktu pemilu. Sampai bingung yang betul dan yang hoaks. Semua masuk. Kirim sini terima sana.

Semakin banyak grup, pasti semakin ramai. Ada yang menyesalkan kebijakan pemerintah, ada yang membagikan tips agar terhindar dari corona, ada yang mengingatkan bahaya corona, ada juga yang mengabarkan ini rekayasa.

Sampai saya bingung, corona di dunia nyata atau di hp sih.

Oleh: Ma’mun Affany

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *