Berita Baik dari Wartawan Baik

Posted by

Benar, seperti halnya rocker, wartawan juga manusia. Karena masih manusia, wartawan juga punya nafsu, punya selera. Ada yang dibenci, ada yang disuka.

Sampai di sini tak ada yang salah. Namanya juga manusia. Kesalahan muncul ketika nafsu dan seleranya mewarnai liputan dan karya tulisnya.

Wartawan yang sedang menyukai sesuatu (binatang, benda, atau manusia), biasanya akan menggunakan kamera terbaik bermata tajam untuk menemukan sisi baik, sisi bersihnya, lalu menutup mata rapat-rapat terhadap sisi buruknya.

Sebaliknya, ketika wartawan sedang membenci sesuatu, ia akan membuka mata kamera selebar-lebarnya untuk mencari sisi buruknya. Kalau tak menemukan buruknya? Ya jangan publikasikan kebaikannya. Tutup mata, sumbat telinga. Melupakan yang terbaik darinya.

Lie Charlie, Sarjana Bahasa Indonesia, pernah menulis: Biasanya wartawan yang memihak kesebelasan tertentu, memilih kata-kata yang bersifat menekan kesebelasan lawannya. Penyerang lawan diejek malas, pemain belakangnya dikatakan gugup, dan pelatihnya disebut masih hijau.

Sebaliknya, bila kesebelasan kesayangannya kalah, ia akan memakai kata-kata penghalus dalam laporannya. Misalnya: “kalah terhormat” atau “kalah tipis”. Meskipun kesebelasan yang dibelanya kalah telak 0-4. Sementara itu, penyerang tim favoritnya dipuji: gigih, beknya tangguh, dan pelatihnya bertangan dingin.

Cara pandang memihak seperti itu tak cuma terjadi di dunia olahraga. Juga di arena perpolitikan. Wartawan yang tak menyayangi Presiden Jokowi, akan selalu menelisik kesalahannya. Membangun tol salah, mengatur BPJS keliru, pindah Ibu Kota negara nggak benar.

Kondisi yang sama dialami Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Hampir setiap kebijakannya dicari-cari kesalahannya, ditelisik kelemahannya. Cara wartawan berpihak yang “agak sopan” melakukannya dengan tidak memberitakan kisah-kisah sukses Gubernur Anies. Betapa pun hebat prestasinya. Tutup mata!

Berita Baik

Dalam berbagai forum, orang suka menyindir media massa dengan meminjam ungkapan “Bad news is good news. Good news is not news”. Yang lain mengatakan, kerja wartawan itu membikin senang orang susah. Membikin susah orang senang.

Sindiran ini kadang menemukan pembenarnya ketika orang menyimak isi media yang seolah lebih suka dan hanya melihat hal-hal negatif dibanding yang positif.

Pelajar atau mahasiswa yang tawuran mendapat liputan lebih besar dibanding kisah para pembelajar yang tekun di perpustakaan atau di laboratorium.

Bahkan ketika seorang pelajar berhasil menggondol gelar juara di arena olimpiade fisika, porsi pemberitaannya jauh lebih kecil dibanding pemuda yang menjadi pengedar ganja, misalnya.

Orang juga mengeluh ketika melihat media memberi liputan begitu gemerlap tentang lulusan akademi fantasi dan bintang Indonesian Idol, dan sedikit sekali tentang peraih medali emas di arena Olimpiade. Memang, duanya-duanya memerlukan pengorbanan dan kerja keras untuk meraihnya, tapi bukankah masa perjuangan sang atlet jauh lebih berat dibanding sang bintang.  

“Pers sudah ikut-ikutan hanyut dengan budaya serba instan,” kritik orang.

Wartawa Pelit Kisah Sukses

Dalam kadar tertentu, media memang pelit terhadap kisah sukses. Pasangan selebritis yang cerai bisa mendapat liputan berulang-ulang. Maka ketika media berkisah tentang pasangan yang rumah tangganya baik-baik saja, wartawan merasa perlu membukanya dengan pernyataan “pasangan yang lama tak pernah ditimpa gosip miring ini”.

Rumus negatif seperti itu juga berlaku untuk isi media lainnya. Dalam rubrik ’ruang publik’ misalnya, jarang sekali bisa dijumpai pernyataan berisi pujian, terhadap seseorang ataupun lembaga.

Tentang ini seorang redaktur berkilah,  “Kami tidak mau media kami dijadikan alat promosi gratis.”

Anehnya, ia amat royal memberi tempat pada suara yang berisi keluhan bahkan cacian. Tentang buruknya kualitas air PDAM, surat pos yang terlambat sampai, lambatnya suster menangani pasien, pelayanan birokrat yang brengsek, dan sebagainya.

Apa yang salah ketika seseorang membuat pernyataan, betapa berterima kasihnya ia menerima pelayanan dokter yang ramah, yang tak main indoktrinasi seolah dirinya  paling tahu hidup mati seseorang. Atau betapa senangnya ia mendapati air PDAM yang selama bertahun-tahun selalu keruh, sudah sebulan ini mengalirkan air jernih.

Seorang penjaga rubrik suara publik berdalih, “Kalau air PDAM jernih, pelayanan dokter atau birokrat baik, memang sudah semestinya begitu.”

Sanggahan ini tentu saja masih bisa diperdebatkan. Karena pelayanan baik seperti itu kini sudah langka, sehingga seharusnya punya nilai berita juga. Di sisi lain, kabar baik tentu punya pengaruh baik juga.

Peran Baik Wartawan

Ketika negeri kita sedang dirundung untaian malapetaka yang seolah tak berujung, agaknya bijak juga kalau orang media merenungkan peran yang sering dilupakannya ini. Peran mendidik masyarakat.

Kita boleh khawatir lo. Jangan-jangan wartawan telah ikut membentuk perilaku masyarakat yang mudah dibakar semangat saling curiga, mudah sekali tersinggung dan gampang mengobarkan api amarah, tidak toleran terhadap perbedaan, gampang cerai susah rujuk, kehilangan semangat dan asa, takut hidup dan mudah bunuh diri.

Pendek kata sebuah masyarakat yang cenderung melihat segala sesuatu dengan kacamata gelap. Maka tak salah kalau ruang media lebih banyak diisi keluhan tentang polisi nakal dibanding polisi baik. Lebih banyak berturur tentang pejabat yang korup dibanding birokrat yang jujur, tentang pelayanan suster yang judes dibanding suster yang luwes.

Seorang wartawan berdalih, “Dunia kita memang sudah begini, sudah gelap. Mencari yang halal sekarang ini sama susahnya dengan menemukan yang haram. Sebab yang haram pun sudah harus diperebutkan dengan banyak orang.”

Kali ini alasan sang redaktur mungkin ada benarnya. Tapi sebagai wartawan dengan kewajiban memberi penerangan, mendidik, dan melakukan pengawasan, seharusnya bisa menjadi khalifah untuk sekadar menyalakan setitik cahaya dalam kegelapan.

Bukankah baik bila wartawan mengabarkan kepada orang yang jujur atau baru mau jujur bahwa ia tidak sendirian. Ia tak perlu merasa kesepian. Masih ada orang jujur nun jauh di sana. Atau “catatlah” pak polisi yang dengan sabar menuntun nenek tua menyeberang jalanan yang angkuh. Juga polisi baik yang mengatur lalu lintas dalam sengatan terik matahari.

Mas Wartawan, bangsa kita sedang krisis keteladanan. Termasuk dari guru, pemimpin, ulama, dan pendeta. Adalah baik jika Mas Media mau mencari dan menemukannya. Karena krisis bukan berarti tak ada. ***

Zainal Arifin Emka
Pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Surabaya Post
Penasihat PWI Jatim
Anggota Tim Ahli Diskominfo Jatim
Pengajar di Stikosa-AWS.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *