Irman Putra Siddin melontarkan sindiran tajam ke alamat pers. Tepatnya kepada insan pers. “Jangan-jangan pers pun sudah berselingkuh dengan kekuasaan dan parlemen,” cetusnya.
Berbicara di forum ILC, Selasa kemarin, ahli hukum tata negara ini menyatakan kerisauannya bahwa pers yang tadinya diharapkan sebagai kekuatan pengontrol kekuasaan, telah melupakan kewajibannya. Mengkhianati kepercayaan publik.
Tak bisa ditawar-tawar lagi, kepercayaan merupakan modal utama insan media massa. Bahkan itulah fondasi utamanya. Media penyampai informasi, haruslah tepercaya. Percuma saja pers melontarkan beribu pesan kalau orang tahu media tak bisa dipercaya.
Daftar Isi
Korban Kebohongan
Masyarakat kita sekarang, suka tak suka mewarisi kondisi tak nyaman. Masyarakat kita adalah masyarakat yang selama bertahun-tahun pernah menjadi korban kebohongan. Kondisi itu berlanjut hingga hari ini.
Sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat di pusat dan daerah, jelas-jelas dipilih dengan cara main tunjuk jari sang penguasa partai. Kemudian disodorkan begitu saja kepada masyarakat untuk dipilih. Mereka kemudian sah disebut sebagai wakil rakyat.
Produk Pemilu seolah-olah itupun dalam kurun waktu yang teramat panjang menjadi sah mengatasnamakan rakyat untuk mengambil atau sekadar menjadi stempel pengesah keputusan-keputusan yang kadang merugikan hidup rakyat.
Luka Belum Sembuh
Masyarakat dengan kondisi seperti itulah yang kini tengah tumbuh. Belum samasekali berubah, masih masyarakat yang belum tersembuhkan luka kepercayaannya oleh aneka kebohongan yang dilakukan penguasa. Luka belum sembuh, bahkan di beberapa bagian masih menganga. Tentu saja tak mudah berbicara dengan mereka yang berada dalam kondisi selalu siaga untuk tidak percaya.
Bagaimana Anda hendak meyakinkan rakyat bahwa sebuah kebijakan yang Anda ambil demi kemaslahatan mereka kalau nyatanya menyengsarakan. Bagaimana rakyat mau percaya bahwa Anda bersungguh-sungguh hendak membersihlkan negeri ini dari pencoleng kalau realitasnya pencoleng masih bebas menikmati dunia hitamnya.
Ikat Pinggang
Dunia komunikasi juga mengenal bahasa tubuh. Anda boleh berusaha meyakinkan bahwa rakyat perlu hidup prihatin dan mengetatkan ikat pinggang. Tapi bagaimana pesan itu akan diterima kalau Anda sendiri hidup serba berkecukupan tak kurang suatu apapun. Padahal orang yang Anda ajak bicara orang yang hidup serba kekurangan dan tak pernah kelebihan bahkan nasi basi sekalipun.
Jadi, kalau pesan kata-kata berbeda dengan pesan non verbal, maka orang cenderung lebih mempercayai pesan yang bukan kata-kata. Salah satu penyebab terjadinya “plesetan” dalam komunikasi seperti itu adalah karena kita tak cukup pandai menghargai lawan bicara kita.
Memang menyedihkan untuk melihat kenyataan betapa sedikit orang yang bijak berkomunikasi. Seorang pejabat tinggi akan terkesan sangat congkak ketika merespon sesambat masyarakat yang keberatan dengan melambungnya harga. Sang Petinggi terkesan seperti tak mau berkomunikasi dengan rakyat ketika mengatakan, “Kalau tak mampu beli, ya jangan beli!”
Saya berharap ia tidak mengucapkan itu dengan bibir mencibir. Sebab bibir yang mencibir mengirimkan pesan ia sedang mencemooh kemiskinan atau ketidaberdayaan masyarakat.
Surabaya Pernah Terluka
Di masa lalu masyarakat Surabaya pernah tersinggung oleh ucapan seorang menteri yang dengan nada pedas merespon keluhan masyarakat karena mahalnya tarif tol jalan layang Mayangkara. Untuk sekadar mengingatkan, jalan layang itu dulunya berloket, artinya mobil yang melintas di sana harus membayar. Ketika mesyarakat sambat, seorang pejabat dengan enteng menjawab, “Kalau memang tak mampu membayar tol, ya lewat bawah saja”.
Orang-orang pemerintah sekarang rupanya perlu banyak belajar bagaimana seharusnya berkomunikasi dengan rakyat yang dipimpinnya. Jangan ngomong sembarangan seraya menganggap masyarakat orang yang masih bodoh dan mudah dibodohi.
Penguasa dan pers kita masih suka melihat masyarakat tak lebih dari dari sekadar sejumlah angka yang dapat dikonversikan menjadi benda-benda. Karena itu kita jadi suka mempersetankan perasaan masyarakat, nilai-nilai masyarakat, dan kehormatan masyarakat. Kelakuan seperti itu selain tak menghargai martabat kemanusiaan kita, juga melecehkan diri kita.
Maka, jangan salahkan masyarakat kalau kemudian mereka keras dan mengancam. Sebagian besar menghukum media dengan meninggalkannya. Janganlah menuduh mereka tak menghargai kerja media, sebab media pun nyatanya tak cukup pandai menghargai mereka. Kita sering menuntut orang menghargai kerja kita, tapi kita tidak menghormati mereka.
Penguasa dan media akan gagal berbicara dengan mereka jika tak menempatkan mereka sejajar dengan Anda. Kalau tidak, itu artinya Anda tak memercayai mereka. Jadi tak adil menuntut mereka memercayai Anda. Rasa percaya itu fondasinya.
Lalu mengapa pers ikut kecipratan dicibir masyarakat? Karena pers ikut menyebarkan kebohongan penguasa. Dan, tutup mata terhadap realitas yang dihadapi masyarakat. Begitu.***
Zainal Arifin Emka
Pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Surabaya Post
Penasehat PWI Jatim
Anggota Tim Ahli Diskominfo Jatim
Pengajar di Stikosa-AWS.