Aliran ponpes Gontor selalu menjadi pertanyaan. Karena biasanya disebutkan bahwa tidak bisa sebuah pondok pesantren bersifat abu-abu, tidak mengkiblat pada satu madzhab tertentu, harus hijau atau biru, atau yang lainnya. Sehingga sering ditanya pesantren Gontor aliran apa?
Kami mendekam di pesantren ini selama enam tahun. Kami akan mengulas dari sisi pengalaman agar menjadi pemahanan tentang aliran ponpes Gontor. Apalagi pesantren di Ponorogo ini memiliki santri total mencapai 30 ribuan, selengkapnya di sini.
Daftar Isi
Cerita Aliran Ponpes Gontor
Ketika kami menjadi santri ada satu aspek yang cukup unik di pesantren modern ini. Yaitu ketika shalat subuh. Sudah menjadi pemahaman kalau aliran Islam di Indonesia seringkali dilihat dari semenjak menunaikan shalat subuh. Yaitu perihal qunut.
Nah ketika shalat subuh tidak ada keistiqomahan di Gontor dalam persoalan qunut. Kadang memakai, kadang tidak. Dan uniknya, tidak ada yang mempersoalkan, dan tidak ada yang berdebat. Bisa dikatakan yang istiqomah justru aspek tidak ada perdebatan itu. Yang penting shalat subuh.

Imam shalat juga bukan santri biasa. Pengasuh, pembantu pengasuh, hingga banyak elemen ketika menjadi imam melakukan demikian. Entah qunut panjang, atau pendek, semua biasa saja. Di sinilah kemudian muncul pertanyaan aliran ponpes Gontor.
Fasilitas Bermacam Warna
Meskipun secara cat, dan bendera Gontor memasukkan warna hijau, tapi bukan berarti merujuk pada ormas tertentu. Di Gontor semua aliran difasilitasi, Muhammadiyah, NU, Persis, salafiyah dan lain sebagainya. Juga difasilitasi untuk menjadi imam shalat. Karena setiap santri harus menjadi imam.
Nantinya santri juga belajar menerima perbedaan itu. Ketika ada yang qunut, yang tidak qunut suatu hari akan membalas menjadi imam tanpa qunut. Di sinilah awal penerimaan perbedaan. Maka karena tidak ada protes pada akhirnya semua golongan merasa mendapatkan tempat yang mulia membaur menjadi satu.
Bahkan pernah suatu ketika pemerintah dan ormas berselisih pendapat tentang lebaran. Itu sudah sering terjadi di Indonesia. Nah Gontor tidak selalu bersepakat, tapi juga seringkali bersepakat dengan ketetapan pemerintah. Pernah dijelaskan oleh kyai, ini madzhab Gontor. Santri juga tidak tanya, yang penting bisa ibadah dengan khusyu’.
Faktor Pembelajaran Penentu Aliran
Secara keseharian sudah kami jelaskan di atas bagaimana Gontor mampu memfasilitasi semua golongan. Tapi ada satu faktor penting penentu aliran ponpes Gontor hingga mampu terbuka sedemikian rupa. Yaitu pembelajaran tentang fiqh.
Jika di pesantren lain seringkali yang dipelajari adalah kesimpulan hukumnya. Qunut itu harus karena dalilnya demikian dan demikian. Sehingga di pesantren tersebut menjadi semacam anjuran yang serasa aib jika tidak dilaksanakan.
Memang di pesantren juga biasanya dilakukan bahsul masail terhadap masalah kontemporer, juga mengetahui asal usul yang menyebabkan hukum tersebut ditetapkan.
Namun tidak banyak. Kebanyakan justru mengkotak pada aliran tertentu. Yang lain salah, atau kurang tepat. Yang paling tepat demikian.
Mengetahui Akar Perbedaan Aliran
Namun di Gontor berbeda. Pembelajaran Fiqh di Gontor lebih kepada bagaimana mengetahui cara mengurut dalil sehingga menghasilkan kesimpulan hukum yang demikian.
Salah satu buku yang paling berpengaruh dalam pemikiran fiqh di Gontor adalah Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid.
Buku ini karya Ibn Rusyd, seorang filosof terkemuka dalam masa keemasan Islam. Nah isi buku ini adalah mengupas penjelasan perbedaan pendapat dalam setiap permasalahan fiqh. Madzhab Syafi’I, Hanbali, Hanafi, dan Maliki dibahas tuntas di sini.
Inilah yang kemudian menjadikan pemikiran terbuka. Oh karena cara menarik dalilnya demikian sehingga menghasilkan kesimpulan demikian.
Maka santri Gontor memahami perbedaan dalam setiap keputusan fiqh. Hal ini pula yang kemudian membuat kita paham kalau aliran ponpes Gontor justru memfasilitasi setiap aliran.
PanduanTerbaik
Gontor NU atau Muhammadiyah
Maka seiring berjalannya waktu muncul pertanyaan tentang aliran ponpes Gontor, maka muncul pula pertanyaan lebih spesifik, Gontor NU atau Muhammadiyah? Karena di Indonesia pesantren rata-rata hanya terbagi NU, Muhammadiyah, Pesantren Sunnah, dan lain-lain seperti Hidayatullah dan Persis.
Maka jawabannya adalah, ketika kita masuk Gontor sebagai seorang NU, maka akan menjadi lebih NU lagi. Ketika masuk Gontor sebagai seorang Muhammadiyah, maka akan menjadi lebih Muhammadiyah lagi.
Namun jika kemudian ditemukan masuk Gontor sebagai seorang NU, tapi keluar ternyata masuk di ormas Muhammadiyah, atau juga sebaliknya, maka tentunya sudah kembali kepada pertimbangan masing-masing. Mungkin karena hanya ingin berorganisasi saja.
Alumni Gontor di NU dan Muhammadiyah
Fakta nyata adalah bagaimana KH. Hasyim Muzadi, di mana sebagai seorang pimpinan ormas Nahdhatul Ulama adalah alumni Gontor, begitu pula dengan Prof Din Syamsudin yang juga ketua PP Muhammadiyah adalah alumni Gontor. Inilah mengapa di Gontor tertulis tagline Berdiri di Atas dan Untuk semua Golongan.
Dengan kata lain Gontor membuka wawasan pemikiran santri dengan cara pembiasaan dalam keseharian untuk menerima perbedaan. Sekaligus pembelajaran dalam kelas untuk mengetahui mengapa setiap madhab bisa berbeda pendapat.
Oleh sebab itu tugas santri Gontor adalah memahami perbedaan itu dan ikut mempererat persatuan komponen di dalamnya. Inilah aliran ponpes Gontor. Wallahua’lam bis Shawab.
2 comments