Novel Cinta Terbaik – “Mah, malam ini aku mau ke Prancis, kemungkinan seminggu lagi baru pulang,” Papah hanya bisa sms, tak bisa langsung bertatap muka untuk sampaikan pamit pada Mamah. Berkutat di kamar sendirian, membuka almari baju, membuka koper di atas ranjang, memilih beberapa baju untuk dibawa ke Perancis.
Sejenak suami dari Mira ini duduk diam di atas ranjang, ia melenguh nafas panjang, dilihat jam Rolex di tangan sudah menunjuk jam sembilan malam. Tak ada suara lalu lalang orang di rumahnya, bahkan di kamarnya sendiri.
Mbo’ Lastri sama Pak Tarman pasti sudah tidur. Anak satu-satunya, Fida, juga pasti sibuk dengan laptop Aplenya di kamar. Malik baringkan tubuh kurusnya, dua kakinya masih menapak lantai.
Daftar Isi
Keluarga Terpisah
Ada perasaan gundah, ada rasa galau di hati Malik. Ia ingin sekali bertemu Mira, istrinya, ingin bertatap muka, ingin bicara dari hati ke hati, ingin mengaduk tawa bersama, ingin bisa tidur dalam peluknya seperti dahulu kala. Tapi semua itu rasanya sangat sulit.
Mira juga sibuk dengan urusan kantor, seringnya pulang di atas jam delapan malam. Apalagi ini akhir bulan, biasanya ia sibuk dengan laporan, paling cepat jam sembilan malam baru pulang. Tapi jam sudah menunjuk pukul sembilan ia tak juga pulang.
“Iya Pah. Mamah masih di jalan, mungkin satu jam lagi baru sampai,” sms masuk, Malik sebenarnya bosan membacanya. Tapi memang demikian keadaannya. Ia tidak bisa memaksa istrinya untuk cepat pulang, pasti alasannya kerjaan kantor masih numpuk, atau masih ada rapat, atau memeriksa laporan. Ia tidak bisa menyalahkan, dulu memang bercita-cita untuk menggapai sukses bersama, dan saat hal itu datang, pertemuan hanya bisa dilakukan lewat sms belaka.
Malik tutup kopernya, letakkan di dekat pintu. Lengan baju dilipat sekali, kancing baju paling atas dilepas perlihatkan kaos dalam putih. Sembari menapak langkah demi langkah Malik kenakan kacamata, ia ingin keliling rumahnya sendiri, ada waktu sepuluh menit. Matanya sesaat berputar pelan, perhatikan isi rumah dari sudut ke sudut.

Lampu gantung dari Itali, kemilau cahaya lampu yang merubah malam seolah siang, marmer dari Lampung yang mampu menjadi tempat becermin, tangga lebar seperti istana di film India, foto besarnya bersama Mira terpasang kokoh di dinding tamu. Semua hanya bisa dipandang, tapi tak pernah ia rasakan bersama keluarga.
Malik berjalan lambat, menuju ruang keluarga. TV led 32 inch berhias home teater hanya teronggok tak pernah untuk menjadi bahan tontonan bersama. Yang menikmati hanya Fida, bahkan yang lebih sering menikmatinya Mbo’e, tidak ada yang akan melarang, karena memang tidak pernah digunakan.
Pamit Anak Entah Kapan Kembali
Malik berulang-ulang menarik nafas panjang di depan kamar Fida, ingin mengetuk, tapi di depan kamar tertulis “Fida tidur”. Malik tak bisa mengetuk, Fida melakukan hal seperti itu juga karena Papah dan Mamah melakukan hal yang sama, biasanya tertulis di pintu “Mamah Kerja”, atau “Papah Istirahat”. Memang mereka lakukan karena begitu payah hidup di kantor, tapi ternyata kini ditiru oleh anak satu-satunya.
“Papah malam ini berangkat ke Prancis, kemungkinan seminggu baru pulang,” Malik mengirim sms ke Fida, ia sengaja menempelkan telinga di pintu berharap dering handphone terdengar, tapi nyatanya suara getarpun tak ada.
Namanya hanya Malik, tidak ada nama panjang. Tubuhnya sedikit kurus tapi cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia, 170 cm, tapi berat tubuhnya 50 kg. Hari-harinya dihabiskan untuk persoalan ekspor dan impor barang dari dan ke beragam negara di seluruh penjuru dunia.
Mobilnya sampai tiga, dari yang tempat duduk hanya dua, sampai yang bisa ditempati satu keluarga termasuk Mbo’e dan Pak’e. Itu pun ia jarang menggunakannya, hanya merasakannya pada waktu membayar pajak tiba. Ia tidak sebatas pulang telat malam, tapi juga sangat jarang pulang. Seminggu paling lama di rumah satu hari, selebihnya ke kantor, ke luar negeri, menjelajahi benua.
Yang tidak disadari adalah keadaan keluarganya. Ia tidak tahu sejak kapan semua bermula, tapi yang jelas ia juga baru menyadarinya kalau ia sendiri ingin bisa bersama dengan keluarga. Ada rasa jenuh yang muncul, ada rasa sepi di hati yang timbul, ada rasa rindu untuk bercanda bersama keluarga yang sudah lama tak berkumpul.
Saat ia pulang hampir pasti yang ditemukan pak’e yang sedang motong rumput, dan mbo’e yang sedang merapikan. Bahkan Fida pun kini sangat jarang ada di rumah, ia lebih sering berkumpul bersama teman-teman, menginap di rumah teman. Malik maklum karena pasti Fida juga miliki rasa bosan di rumah karena tak ada yang mendampingi.
Pintu rumah ditutup rapat, ia harus pergi tinggalkan rumah, “Mah, papah berangkat,” hanya lewat telpon bisa berbicara.
“O ya pah, hati-hati. Papah pulangnya tanggal berapa?”
“Mungkin tanggal 13,” dari dalam mobil Papah menelpon sembari melihat sedikit sisi rumahnya yang hendak ditinggal, “Titip salam untuk Fida mah,” hanya ini yang bisa Malik lakukan sebagai kepala keluarga, tak ada yang lain.
Anak Kita Sudah Tumbuh Dewasa
Kaca pintu mobil tertutup rapat, ac berhembus menyusup dingin di balik ikatan dasi. Malik lupa sudah berapa lama keluarga berjalan demikian. Mungkin empat tahun, mungkin lima tahun, mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun.
Yang teringat di kepala Malik terakhir kali bersama keluarga saat dulu jalan-jalan merayakan kelulusan Fida dari sekolah dasar, tapi itu dulu, sedangkan Fida sebentar lagi lulus SMA. Kejenuhan pekerjaan membuat Malik sadar keluarga adalah sandaran, tapi sayangnya keluarga tersebut tak lagi seperti dahulu kala.

Tak berselang lama Mira tiba. Istrinya Malik, mengendarai sedan Mercy S class sendirian. Gerbang pintu rumah dibuka Pak’e, mobil merambat masuk garasi di antara tiga mobil yang terparkir. Sejenak Mira melongok ke langit, tampak hitam, tak tampak bulan mengawang, hanya sesekali satu dua bintang berkelip di langit ibu kota.
Ibu berambut sebahu ini berjalan menenteng tas kantor, jalan lenggak-lenggoknya tak tampakkan ia sebagai ibu, suara sepatu hak tingginya sangat tegas mengetuk lantai. Betisnya terlihat jelas, rok tiga jari di atas lutut menampakkan sisi halus kulitnya.
Ibu atau Gadis
Ia selalu dikira belum memiliki anak, padahal usianya sudah kepala empat, sekitar empat puluh satu tahun. Tubuhnya yang langsing selalu membohongi penontonnya, pakaiannya yang modis juga menambah kesan seolah masih muda. Padahal wajahnya biasa, hidungnya juga tak mancung, bibirnya juga tak tipis, matanya juga tak sipit, bundar, hanya biasa, tapi ia memang sangat modis bila dibanding wanita seusianya.
Mira tak langsung menuju kamar, suaminya jelas tak ada, ia juga tak akan menuju kamar Fida untuk melihat apakah sudah tidur atau belum karena pasti dikunci dari dalam, jam sudah menunjuk angka sepuluh malam.
Satu-satunya kegiatan yang pertama kali ia lakukan hanya duduk ruang keluarga, tempat di mana Led TV besar menjadi penghiburnya. Ia duduk sejenak, menyalakan TV dengan remot, memindah-mindah channel stasiun TV tapi tak ada satu pun yang menghiburnya, hanya dua menit TV sudah dimatikan kembali.
Bantal kursi diambil, dipeluk, novel cinta terbaik di atas meja diraih, dilihatnya foto keluarga di dinding, suaminya sudah pergi, baru satu minggu kemudian kembali pulang, itu juga belum tentu ia bisa bertemu, Mira sangat menyadari hal itu. Bukan salah suami, juga bukan salahnya.
Setiap kali suami datang ia tak di rumah, setiap kali ia di rumah suami tak kunjung datang. Hanya bantal kursi ia peluk erat, dicium seolah itu suaminya. Entah sudah berapa lama tak bercengkrama dengan dekat, apalagi dari hati-hati, jangan lagi bicara hubungan seksual, semua meruap menghilang seolah sudah menjadi cita-cita yang sulit untuk didapatkan.
“Pah, lagi di mana?” hanya lewat telpon Mira bisa menghubungi.
“Bandara, sudah mau take off Mah.”
“Kapan pulang?”
“Seminggu lagi, kan tadi sudah bilang,” Mira sampai melupakannya, jidadnya ditepuk sendiri.
Terakhir kali bertemu Malik dua minggu lalu, itu pun hanya satu jam. Cuma melihat Malik sibuk menyiapkan dokumen-dokumen ekspor-impor, tak bisa ngobrol dekat, tak bisa duduk dekat layaknya suami istri, sudah seperti penonton. Mira mulai merindukan kebersamaan itu, ia tidak tahu apa sebabnya, tapi ia sangat merindukannya.
Ia sendiri jenuh dengan pekerjaan, berangkat subuh, pulang larut malam. Ia tidak tahu kapan itu datang, ia juga jarang berdiam di rumah walau sejenak, kini rumah seolah hanya hotel tempat bermalam, dan kantor sudah menjadi rumah tempat tinggal.
Novel Cinta Terbaik
Sebagai perempuan Mira tidak memungkiri butuh kebersamaan, butuh suasana keluarga yang bisa mengubah jenuh menjadi tawa, bahkan untuk memeluk Fida pun sangat jarang, apalagi memeluk suaminya sendiri. Mira masuk kamar, tanpa mengganti baju ia berbaring, memeluk hangat bantal, menciumnya merindukan seseorang. Semua karena pekerjaan, semua karena kesibukan. Bahkan membaca novel cinta terbaik pun tidak sempat.
Dulu Mira sangat mengidamkan jabatan tinggi di Bank tempatnya bekerja. Ia tak kenal waktu, tak kenal siang malam dihabiskan untuk bekerja keras mengidamkan posisi lebih tinggi di Bank. Perlahan jabatan itu datang, setapak demi setapak mampu di raih, tapi setelah di puncak ia perlahan tahu bahwa setapak demi setapak pula ada sesuatu yang hilang, keluarga, kehangatan, kebersamaan, cinta dan kasih sayang.
Rumah di salah satu daerah Jakarta selatan ini memang tampak sangat besar, megah, gagah, dan mewah. Meski pagarnya menjulang tinggi tapi lantai dua rumah masih tampak indah. Gemerlap lampu, pohon-pohon taman yang menghias, gemericik air mancur kolam, kicau burung di kandang seolah sudah memindah kesejukan hutan.
Tapi semua tak berguna, pemilik rumah tak pernah menikmatinya, bahkan mobil-mobil di garasi ada yang tak terpakai dalam waktu lama, hanya menjadi koleksi.
Novel Cinta Terbaik bersambung ke episode 2 klik link ini!
karya Lena Syahida diterbitkan oleh affany