Episode 3 | Cinta Itu Lupa

Posted by

“Hari ini saya rasa cukup, selamat akhir pekan,” Mira mengakhiri rapat, ia duduk di ujung meja oval sebagai pimpinan. Ruangan ber AC di lantai 5 membuat satu ruangan leluasa menelisik padatnya jakarta dari balik dinding kaca, gemerlap lampu malam sudah menggantikan bintang, setiap sudut telah terselip gedung pencakar langit.

Rapat direksi bubar, para peserta buyar, satu persatu keluar ruangan, tapi Mira masih lengket duduk di kursi putar, ia menggigit kaca ujung tangkai kaca matanya, memandang keluar dari balik dinding kaca sembari selipkan beberapa helai rambut yang jatuh ke depan matanya.

“Bu, ini draft proposal pembiayaan dari salah satu perusahaan,” sekretaris Mira mendekat, menyodorkan satu map.

Mira tak pernah lelah, ia kembali kenakan kaca matanya, ia buka lembaran demi lembaran, “Ini masih kurang baik, coba minta perusahaan tersebut untuk memperbaiki, terutama dalam rincian pembiayaannya.”

“Baik bu,” sekretaris berambut pendek tak pernah menolak perintah bu Mira yang terkenal super duper perfectionist. 

Sekretaris sudah pergi, tapi Mira tak juga keluar ruangan, hanya dia seorang, sendirian di ruang rapat. Mira mendekat ke dinding kaca bersama kursinya, ia ingin sejenak lebih dekat melihat kota Jakarta. Setiap sudut dilihat, gemerlap tampak, ia perlahan sedang memilih ke sisi mana hendak ia pergi melepas lelahnya. Ia bosan di kantor, bosan juga di rumah. Malik masih di Prancis, Fida katanya menginap di rumah teman. 

Tiba-tiba alarm di handphone berdering, ia lihat layar BB, ia baru sadar hari ini ia punya jadwal ke Salon. Mira memang memiliki jadwal yang ketat, padat, dan tetap. Semua masuk dalam agenda di BB, ia sudah menyusun untuk tiga bulan ke depan. Untuk ke salon hampir setiap dua minggu sekali, penginnya seminggu sekali, tapi jadwal kerjanya terlalu padat. 

Mira bergegas tinggalkan ruangan, kunci mobil digenggam, lenggak-lenggok jalannya di kantor sudah seperti peragawati, ia tidak sedang menarik perhatian, memang jalannya demikian. Ketukan sepatunya pasti keras, Mira memang bukan wanita yang punya sembilan kecantikan, tapi ia punya banyak pesona yang menawan. Usianya tertutup, senyum manis khas keturunan jawa membuatnya tampak lebih muda.

Pertemuan Bodoh

Salon langganan Mira di daerah sekitar Tebet, ia sudah menjadi member dengan perlakuan ekstra, bahkan kalau ia datang telat salon bisa tetap terbuka hanya untuknya. Saat membuka pintu salon banyak yang menyapa, “Ibu Mira,” mereka setengah ingin berebut karena pasti dikasih tip oleh bu Mira.

Mira tak pernah banyak bicara, ia hanya ke kamar ganti untuk mengganti baju, selanjutnya ia akan memilih salah satu majalah, dan duduk manis. Tak berselang lama akan ada yang datang untuk merawat tubuh Mira dari ujung kaki sampai ujung rambut. Mira benar-benar dimanja, bahkan kadang sampai setengah ketiduran.

Tapi malam itu Mira tak bisa benar-benar nyaman, tak berselang lama ada satu lelaki muda datang, padahal kalau dilihat jam tangan sudah tutup, Mira heran. Dengan suara lirih ibu-ibu dengan baju tidur sempatkan bertanya, rambutnya masih di creambath, “Kok dia bisa masuk?”

“Dia juga pelanggan tetap kami, member, satu-satunya dari laki-laki,” gadis pelayan berambut poni tak kalah lirih membisik.

“Berapa kali seminggu dia ke sini?” Mira penasaran.

“Sama seperti ibu, dua minggu sekali. Dia model bu, tuntutan profesi.”

Mira sampai menegakkan duduknya, ingin melihatnya dengan jelas lewat cermin. Tubuhnya bidang, tingginya seperti suaminya, garis di wajahnya tegas, matanya cekung, hidungnya mancung, bibirnya tipis, rambutnya tampak lemas terbelah dua, kulitnya kuning, pantas sebagai model, bahkan perutnya tampak berotot, “Kelihatan angkuh ya…” Mira komentar. 

“Ibu belum kenal sih, dia orangnya enak bu, dia tidak pernah memilih untuk berteman, kita semua di sini juga temannya, kita semua mengenalnya, namanya Irwan, dia sekarang sedang ikut audisi untuk satu film,” kata-kata dari gadis berbibir mungil tak pernah putus sembari memijat kepala bu Mira.

Mira melirik, tapi tak lama. Mira tak memungkiri jika Irwan miliki daya tarik, tapi ia sudah punya anak, juga punya suami. Ibu bermata lentik ini hanya anggap angin berlalu. Tapi malam itu di salon benar-benar Mira merasakan sesuatu berbeda, biasanya ia sendiri, tapi kali ini ada pelanggan khusus laki-laki. Ada rasa heran, takjub karena ada sosok laki-laki yang rutin merawat diri tidak seperti suaminya sendiri.

Malam itu bagi Mira memang sudah tak seperti biasanya, dari salon ia tak langsung pulang ke rumah, ia memacu lambat mobilnya sendirian, ia tak peduli bahaya, ia hanya ingin melepas lelah. Mobil Mira terus berjalan hingga memasuki wilayah kemang, malam serasa hidup, tampak beberapa orang lalu lalang, banyak club dan diskotik, mobil-mobil mewah terparkir. Mira penasaran, ia ingin habiskan waktu malam. Ia sering dengar dunia gemerlap malam, tapi ia tidak pernah merasakan. Mira iseng-iseng belokkan mobilnya.

Ia tidak tahu jika harus ada kartu member, atau harus memiliki invitation, tapi apa yang sulit untuk Mira, dengan uangnya ia bisa mudah untuk masuk dunia ajeb ajeb. Dalam sekejap Mira sudah berada di dalam, memilih salah satu sofa. Mira duduk sendirian, padangi pengunjung berjingkrak-jingkrak, dengarkan dentuman musik, selang beberapa menit ada seseorang yang datang.

“Malam tante Mira.”

Kontan Mira terkejut, ada yang mengenalnya, dan ternyata Irwan, “Malam, bagaimana kamu bisa mengenalku?”

“Mudah saja, ibu tadi ke salon, semua pelayan di sana kenal dengan tante, tak disangka kita bertemu di sini,” senyum Irwan mengembang, baju kotak-kotaknya terlihat pas di badan.

Mira hanya memutar botol green sand tersenyum sendiri, tapi Mira melengos, lebih asyik melihat orang-orang bergoyang.

“Sedang jenuh  sama pekerjaan bu? Mau tripping?” Irwan menawarkan.   

Mira tak menanggapi, hanya menenggak minuman, “Sedang apa kamu di sini?”

“Melepas lelah, penat, akhir pekan, pengin enjoy saja,” Irwan terlihat sudah biasa berkunjung, beberapa yang melewat menyapanya, Irwan berusaha lebih mendekat, suara Mira bercampur kerasnya musik.

“Katanya kamu model?”

“Benar.”

“Hanya model? Tidak ada sampingan?” Mira ingin tahu.

Irwan tersenyum, sedikit ragu, diam sejenak, menatap mata Mira sedikit lama.

“Jujur saja, tidak apa-apa, ini Jakarta, aku sudah dua puluh tahun di sini,” kini Mira yang menatap tajam Irwan.

“Kalau tante Mira kesepian, aku bisa menemani,” Irwan kini tak sungkan.

“Berapa tarifmu?” Mira menopang dagunya dengan satu tangan.

“Kalau untuk tante terserah saja.”

“Kenapa seperti itu?” 

“Aku bukan tipe lelaki yang menerima semua tante-tante, dan tante Mira cocok dengan hati saya,” Irwan menyulut rokok.

“Maksud kamu?”

“Tante tidak sebatas ibu-ibu biasa, punya karisma, manis dan tegas, aku menyukainya,” Irwan kini sedikit merayu.

“Kamu baru mengenal sebentar, dari mana kamu menilai semua itu?”

“Dari cerita teman-teman di salon.”

Pengunjung semakin ramai, banyak wanita-wanita penghibur, tapi sulit menemukan laki-laki penghibur seperti Irwan. Sosoknya samar, tidak terlihat sedang mencari pelanggan, seperti pengunjung biasa.

“Teman-teman di salon tahu pekerjaan sampinganmu?”

Irwan menggeleng, “Aku hanya memberitahu pada ibu-ibu yang aku dekati.”

Mira diam, berpikir sejenak akan suaminya yang pergi jauh ke daratan eropa.

“Suami tante ke mana?”

“Dia terlalu sibuk, bahkan untuk makan di rumah saja tidak sempat,” Mira melihat ke salah satu sisi, tempat DJ meramu musik, “Dia selalu pergi ke luar negeri.”

Tanpa menanggapi Irwan menyodorkan kartu nama, “Ini nomor handphoneku.”

“Sampai kapan kau di sini?” Mira penasaran.

“Sampai ada tante yang cocok dan ingin pergi ditemani olehku.”

Baca Episode 4 Novel Kekasih Bodohku di link ini!

Karya Lena Syahida diterbitkan oleh Affany

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *